Powered By Blogger

Jumat, 08 Oktober 2010

budaya

BUDAYA

Opera Pantun
Antara Kebijakan Tradisi dan Pertunjukan yang Utuh




Jakarta – Sebuah opera, opera pantun, apakah maknanya? Di atas panggung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki, Jakarta (29/4), pementasan opera yang dibidani Yayasan Panggung Melayu ini dimulai dari seorang ibu dengan sang anak di ayunan.
"Wahai anak dengarlah pantun, pantun menyantun supaya santun, jadi panduan turun temurun. Hidup bahagia, senantiasa rukun. Anak itik baris berbanjar, bawa bekal ke tengah kota, sewaktu kecil rajinlah belajar, hidup bahagia sepanjang masa," tutur si ibu.
Dari metafora berupa ayunan ibu - adegan yang dilengkapi visualisasi di layar tengah panggung – musik orkestra terdengar. Lalu adegan berganti, memunculkan si Ibu dan si anak yang mulai besar dengan si anak yang mengenakan seragam sekolah.
"Puk amai-amai belalang kupu-kupu, bertepuk adik pandai, diupak air susu. Susu lemak manis santan kelapa muda, hai adik jangan menangis, sekolah layak sampai habis, ayah bunda pasti gembira..."
Ada juga sajian visual berupa anak yang memainkan "ular naga" bersama rombongannya. Lalu dua kelompok pendekar yang berkelahi, sebuah gerakan pencak di Tanah Melayu, hingga seorang ulama dan datuk nan bijak pun akhirnya memisahkan kedua kelompok itu. "Bangun negeri amanah bangsa. Mari kita bangun bersama-sama," ujar Datuk.
Adegan bertumpuk lainnya seperti ungkapan saling merayu antarkedua kekasih, pun digelar.
"Jika kasih sabar menunggu nantikan saja masa ketika," ujar seorang pemuda setelah diawali dengan pantun pembuka. Ada juga adegan dua orang tua yang saling berpantun, saat akan menjodohkan kedua anak mereka.
Wali Kota Tanjung Pinang menyatakan sebelum pertunjukan ini bahwa melestarikan pantun sebagai aset budaya, karena pantun dan Tanjung Pinang tak bisa dipisahkan. "Pantun selalu diucapkan pada setiap acara, dalam setiap kehidupan sosial masyarakat," ujarnya.

Mengemas Seni Tradisi?
Menurut Asrizal Nur, sang sutradara penulis naskah ini memang mengangkat kesenian tradisi menjadi tontonan yang menarik adalah pengembaraan kreativitas yang menantang. "Terlebih lagi berdepan-depan dengan abad modern yang mendedahkan banyak pilihan tontonan," ujar Asrizal.
Asrizal Nur mengatakan di dalam pengantar katalog pementasan Opera Pantun ini bahwa setelah hijrah tahun 1995, bagaimanapun kerinduan mengangkat kesenian Melayu telah memicu kreativitasnya sehingga baru belakangan ini dirinya dapat bercakap mesra dengan seniman pantun dari Kota Tanjung Pinang termasuk Tusiran Suseno yang dari percakapan mereka kemudian menggulirkan ide menjadikan pantun sebagai "pertunjukan yang enak ditonton".
"Maka lahirlah ide untuk membuat opera yang saya beri nama 'Opera Pantun'. Ide didukung oleh pegiat pantun Tanjung Pinang Tusiran Suseno dan didukung produksinya oleh Datuk Kaya Efiar M Amin dan Wali Kota Tanjung Pinang," papar Asrizal.
Sayangnya, kemasan "Opera Pantun" dengan dukungan Koreografer Malfilindo Koti dan Penata Musik Yaser Arafat yang beragam tata laku di dalam masyarakat Melayu yang menarik di pementasan ini, mulai dari pantun dan dendang ibu kepada anak, pantun berkasih-kasihan dua sejoli, pantun di dalam tata laku adat, terkesan belum terkemas dengan baik dalam kesatuan pementasan yang utuh.
Adegan terlepas satu sama lain, narasi kurang terbangun. Kendati ingin memaparkan pantun yang hadir dalam berbagai kehidupan, kemunculan si bayi, anak di awal "pementasan opera" ini tetap saja menuntut narasi yang terbangun dan berkelindan di benak pengunjung.
Segala simbol dari gerak tari, pilihan lagu dan ungkapan pantun terasa sangat bernas ditata secara elemen terpisah. Sayangnya kebernasan gerak tari, kecakapan pantun juga sajian visual video nyatanya kurang mampu sinergi untuk direkatkan menjadi sebuah elemen "pertunjukan opera" yang utuh.
Apa pun, malam puncak Festival Pantun Serumpun ini tetap bisa dilihat sebagai penutup acara dari momen yang menyertakan beberapa provinsi di Indonesia untuk mempertahankan pantun sebagai khazanah kesusastraan Nusantara, sastra tradisi di Indonesia yang sepantasnya dipertahankan dan dilestarikan oleh generasi berikutnya. (sihar ramses simatupang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar